Trenggalek — Di Dusun Karanggayam, Desa Karangsoko, sebuah arena sabung ayam dan perjudian dadu kembali beroperasi seolah berada di wilayah tanpa undang-undang. Ratusan kendaraan berjajar setiap harinya, menandakan betapa ramainya praktik haram ini. Lebih miris lagi, arena tersebut beroperasi secara terang-terangan, tanpa rasa takut sedikit pun terhadap penindakan aparat.
Warga setempat mengungkap fakta yang semakin menguatkan kecurigaan publik. “Pernah tutup sebentar, tapi buka lagi seperti tidak ada apa-apa,” ujar seorang sumber yang meminta namanya dirahasiakan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa tindakan aparat selama ini tidak lebih dari tameng formalitas—sekadar menutup mulut masyarakat, bukan menutup arena kejahatan.
Ketidakseriusan penindakan justru menggiring masyarakat pada dugaan lebih mengerikan: adanya backing dari oknum-oknum yang diduga memberi perlindungan terhadap bisnis gelap ini. Bagaimana mungkin arena judi sebesar itu bercokol begitu lama tanpa tersentuh penegakan hukum?
Padahal, landasan hukum sangat jelas dan tegas.
KUHP Menghukum Keras Perjudian, Tapi Hukum di Trenggalek Justru Mandul
Pasal 303 ayat (1) KUHP: Barang siapa dengan sengaja menyediakan tempat, memberikan kesempatan, atau ikut serta dalam kegiatan perjudian, terancam pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda hingga Rp 25 juta.
Pasal 303 bis KUHP: Pemain atau peserta perjudian juga dapat dipidana dengan hukuman penjara dan denda.
UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian menegaskan bahwa seluruh bentuk perjudian adalah kejahatan, bukan sekadar pelanggaran.
Namun, di Trenggalek, aturan itu seakan kehilangan makna. Ketika aparat tak mampu menegakkan hukum, pelaku kejahatan merasa semakin bebas dan masyarakat semakin kehilangan kepercayaan.
Dampak Sosial Mengancam: Bukan Sekadar Soal Judi
Warga mengeluh bahwa keberadaan arena ini telah:
Mengundang pendatang dari berbagai daerah,
Menimbulkan keributan dan rawan kriminalitas,
Merusak ketenangan lingkungan,
Mengancam moral generasi muda.
Keresahan warga bukan tanpa alasan. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana tempat haram itu seolah menjadi “zona aman” bagi para penjudi, sementara aparat justru terkesan memilih bungkam.
Pertanyaan Tajam untuk Aparat Penegak Hukum
Jika masyarakat bisa melihat, mendengar, dan mengetahui aktivitas ilegal ini, bagaimana mungkin aparat yang memiliki kewenangan, intel, hingga perangkat lengkap tidak mengetahui hal yang sama?
Apakah hukum di Trenggalek benar-benar ditegakkan, atau hanya dijadikan pajangan?
Sampai saat ini, warga menunggu jawaban—bukan melalui janji, bukan melalui razia sekejap mata, tetapi melalui tindakan tegas yang berani menyentuh akar masalah, termasuk siapa pun yang membekingi praktik haram tersebut.
Jika tidak, maka arena judi itu bukan hanya bukti kejahatan, tetapi bukti bahwa penegakan hukum di Trenggalek sedang sakit parah.
