BANJARNEGARA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menekankan pembangunan desa menjadi stimulan bagi perubahan sosial yang bermuara pada pemberdayaan masyarakat desa. Tidak kalah pentingnya, pembangunan desa memiliki peran sentral dalam dua aspek penting, yaitu upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan pembangunan antar wilayah, serta antara desa dan kota.
“Kemiskinan ekstrem masih banyak kita jumpai di sejumlah wilayah Indonesia. Di Jawa Tengah sendiri, Kabupaten Banjarnegara, masih menjadi salah satu kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di antara 30 kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Banjarnegara, presentase kemiskinan di Banjarnegara tahun 2022 mencapai 15,2%,” ujar Bamsoet dalam kunjungan hari ke-18 di Dapil-7 Jawa Tengah di acara podcast bersama Pengasuh Pondok Pesantren Alif Baa Khayatul Makky atau Gus Hayat di Banjarnegara, Minggu (4/2/24).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, desa menjadi titik tumpu dalam upaya pengentasan angka kemiskinan. Karena tingkat kemiskinan di desa lebih tinggi jika dibandingkan wilayah perkotaan. Baik dari aspek persentase angka kemiskinan, indeks kedalaman kemiskinan, dan indeks keparahan kemiskinan.
“Dalam perspektif pengurangan kesenjangan ekonomi dan sosial, pembangunan desa menjadi penyeimbang untuk memangkas jurang perbedaan antara kehidupan di perkotaan dan pedesaan. Tidak dipungkiri, bahwa salah satu alasan masih tingginya angka urbanisasi karena adanya ketimpangan pembangunan di kota dan di desa. Kota masih menjadi magnet yang menggiurkan bagi penduduk desa,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, harus disadari bahwa desa adalah tumpuan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang harus menjadi prioritas. Mengingat masih tingginya angka ketergantungan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Tercatat, untuk pemenuhan kebutuhan enam dari sembilan barang kebutuhan pokok di Indonesia masih harus mengimpor dari negara lain.
“Dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, kita telah membelanjakan uang sekitar Rp 1.272 triliun untuk berbelanja beras, susu, bawang, garam, daging, dan gula dari pasar internasional,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menilai hal tersebut sangat ironis. Mengingat Indonesia dikenal sebagai negara agraris, di mana pertanian merupakan sektor yang masih sangat potensial untuk dikembangkan. Tetapi justru mengalami defisit perdagangan buah dan sayuran yang rata-rata mencapai Rp 19 triliun per tahun.
“Bahkan secara peringkat, merujuk data The Global Food Security Index 2022, Indonesia menempati posisi ke 10 di Asia dan Pasifik, dan ke 60 di dunia, dalam hal ketahanan pangan. Menunjukan bahwa kebijakan untuk memprioritaskan pembangunan desa adalah sebuah keniscayaan,” pungkas Bamsoet. (*)