RadarNKRI.id, Larantuka – Di tengah dampak erupsi Gunung Lewotobi yang masih dirasakan oleh warga, pemerintah dan DPRD Kabupaten Flores Timur (Flotim) mendapat sorotan tajam setelah mengesahkan pengadaan lima unit mobil baru senilai Rp 3,2 miliar untuk pimpinan daerah (DPRD dan Bupati, Wakil Bupati).
Langkah ini menuai protes dari masyarakat, terutama para korban bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Kecamatan Wulanggitang dan Ile Bura yang merasa diabaikan dalam prioritas anggaran daerah Kabupaten Flotim.
Bantuan untuk korban erupsi yang tersebar di Kecamatan Ile Bura dan Wulanggitang hanya sebesar Rp 800 juta. Jumlah ini dinilai tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan 2.366 rumah di tujuh desa, yang atapnya rusak parah akibat erupsi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Flores Timur, Ferdinandus Moat Aeng, mengakui kepada wartawan belum lama ini bahwa angka tersebut jauh dari cukup untuk memulihkan kondisi rumah-rumah terdampak.
Salah satu korban erupsi, Rosalia Onan dari Desa Hokeng Jaya, mengungkapkan keluhannya mengenai sulitnya bertahan dalam kondisi atap rumah yang rusak parah akibat erupsi Gunung Lewotobi yang telah berlangsung kurang lebih setahun ini.
“Setiap kali hujan, kami tidak bisa tidur. Kami harus membersihkan lumpur yang masuk melalui atap yang bocor. Tolong, perhatikan nasib kami,” ujarnya penuh harap. Jumat (18/10/2024).
Bernadeta, warga di Kecamatan Wulanggitang, juga mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, Pemda Flotim lebih mementingkan kemewahan para pimpinan daerah dibanding memprioritaskan anggaran untuk masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan.
“Mereka (Pemda) lebih mementingkan duduk di dalam mobil mewah baru dengan kaca tertutup, AC menyala, sambil tidur di kursi mobil yang empuk, sementara kami di sini harus menghirup abu setiap hari. Belum lagi kalau hujan, kami mandi lumpur. Di mana keadilan sosial bagi kami?” tanya Bernadeta.
Kontras antara pengadaan mobil baru dan bantuan bagi korban erupsi ini memunculkan pertanyaan di kalangan masyarakat tentang prioritas pemerintah daerah. Thomas Uran, Direktur Yayasan Ayu Tani Mandiri, menilai kebijakan ini sebagai bentuk pemborosan di tengah keterbatasan anggaran.
“Dana dinas sudah ada, tunjangan mereka besar. Mengapa harus membeli mobil baru lagi di saat warga masih menderita?” ungkap Thomas dengan kecewa.
Sementara itu, Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan Flores Timur, Eduard Fernandez, mengakui bahwa bantuan Rp 800 juta hanya bisa diprioritaskan bagi rumah-rumah yang mengalami kerusakan paling parah, terutama yang dihuni oleh kelompok rentan seperti ibu hamil, anak-anak, dan lansia.
“Kami tidak bisa membantu semua karena anggarannya terbatas,” jelasnya, menekankan bahwa kepala desa memiliki peran penting dalam menentukan prioritas penerima bantuan.
Di sisi lain, Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah Flores Timur, Ferdinandus Frederik Ama Bolen, menjelaskan bahwa anggaran pengadaan mobil sudah masuk dalam APBD 2024, dengan alokasi Rp 1,8 miliar untuk tiga mobil pimpinan DPRD, Rp 700 juta untuk Bupati, dan Rp 620 juta untuk Wakil Bupati.
Namun, di tengah kondisi ekonomi daerah yang terbatas, banyak warga menilai kebijakan ini tidak peka terhadap kebutuhan mendesak mereka. Warga merasa pemerintah lebih memprioritaskan kenyamanan pejabat daripada menyelesaikan masalah yang dihadapi korban bencana.
Kebijakan ini semakin menegaskan jarak antara pemerintah dan masyarakat, memunculkan pertanyaan besar tentang keadilan sosial di tengah krisis yang masih melanda Flores Timur.*(Ell)