Di Banjarnegara, Ketua MPR RI Bamsoet Bersama BPK, BPKP dan Para Kepala Desa Dorong Optimalisasi Dana Desa Guna Percepatan Pertumbuhan Ekonomi

BANJARNEGARA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mendukung usulan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang disuarakan oleh para kepala desa se-Indonesia. Usulan revisi tersebut telah disepakati di DPR menjadi Rancangan Undang-Undang Desa pada tanggal 11 Juli 2023.

 

Dari beberapa poin usulan perubahan Undang-Undang Desa, ada dua poin yang mengemuka dan menjadi arus utama. Pertama, terkait perubahan masa jabatan kepala desa, yang diusulkan menjadi 9 tahun untuk 2 periode. Dari sebelumnya 6 tahun untuk 3 periode. Kedua, terkait kenaikan alokasi dana desa sebesar 20 persen. Dari sebelumnya paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setelah dikurangi dana alokasi khusus.

 

“Terhadap kedua wacana tersebut, tentunya kita harus memastikan, bahwa penambahan masa jabatan kepala desa, harus menjamin peningkatan kinerja perangkat desa agar penggunaan dana desa dapat dilaksanakan secara tepat sasaran. Sementara, peningkatan anggaran dana desa harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Dimana alokasi dana desa yang cukup besar tersebut dikelola melalui mekanisme yang efektif dan efisien, tanpa mengesampingkan aspek akuntabilitas,” ujar Bamsoet dalam Workshop ‘Pengelolaan Keuangan Desa yang Akuntabel dalam Rangka Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi Desa yang Berkelanjutan’ yang diselenggarakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Banjarnegara, Kamis (7/12/23).

 

Hadir sebagai pembicara antara lain Sekda Banjarnegara Indarto, Dirjen Pembangunan Desa dan Perdesaan – Kemendesa dan PDTT Sugito, Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Jawa Tengah Hari Wiwoho dan Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah Tri Handoyo.

 

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menuturkan, bergulirnya usulan revisi Undang-Undang Desa juga tidak terlepas dari keprihatinan terhadap pengelolaan dana desa yang dinilai tidak optimal. Pengelolaan dana desa belum sepenuhnya memperkuat dan menjadikan desa mandiri sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Selama periode 2015 hingga 2023, anggaran dana desa dari APBN telah menembus angka Rp 538,9 triliun. Namun besarnya alokasi anggaran tersebut belum membuahkan hasil yang optimal.

 

“Sebagai gambaran, hingga tahun 2022, jumlah desa yang sudah masuk dalam kategori desa swasembada atau desa maju dan berkembang baru mencapai 5 persen. Sedangkan yang masuk kategori desa swakarya mencapai 25 persen, dan mayoritas sisanya 70 persen masih masuk kategori desa swadaya atau desa tertinggal,” kata Bamsoet.

 

Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, saat ini angka korupsi dana desa masih tinggi. Selama kurun waktu 6 tahun saja, dari tahun 2015 hingga tahun 2021, jumlah dana desa yang dikorupsi sudah mencapai Rp 433,8 miliar. KPK mengungkapkan bahwa korupsi dana desa masuk dalam kategori tiga besar kasus korupsi pengelolaan keuangan.

 

“Selain itu, masih adanya potensi alokasi dana desa yang tidak tepat sasaran. Sehingga tidak mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi desa. Artinya, kebijakan pengelolaan dana desa tidak dikelola berdasarkan skala prioritas serta perencanaan dan perhitungan yang matang, dan belum menyentuh aspek fundamental sehingga gagal menjawab esensi kebutuhan masyarakat desa,” urai Bamsoet.

 

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, penting menjadi perhatian dan sekaligus komitmen bersama segenap pemangku kepentingan, bahwa kehadiran dana desa dimaksudkan sebagai katalisator pembangunan desa yang pemanfaatannya dapat mendorong gerak perekonomian rakyat. Artinya pengelolaan dana desa tidak hanya menghasilkan output dan outcome, tetapi harus memberikan benefit bagi masyarakat desa.

 

“Sebagai stimulus pembangunan desa, dana desa juga tidak seharusnya menjadi ‘penghambat’ kreativitas desa untuk mengoptimalkan sumber pendapatan lain yang sudah ada di luar dana desa, serta potensi-potensi sumber pendapat asli desa yang baru. Sebagai katalisator pembangunan desa, dana desa tidak boleh menjadi sebuah ketergantungan dan mendegradasi semangat dan etos kerja masyarakat desa. Ringkasnya, dana desa adalah sarana, bukan tujuan,” pungkas Bamsoet. (*)