Tuban, 25 Juli 2024 – Dunia pendidikan di Kota Tuban kembali tercoreng oleh insiden yang melibatkan seorang siswa berinisial AV dari SMPN 2 Widang. AV tidak naik kelas akibat sering bolos sekolah, yang memicu kontroversi besar di kalangan masyarakat.
Masalah ini semakin panas ketika Kepala Sekolah SMPN 2 Widang, Marjani, diduga menyampaikan pernyataan kurang pantas terkait AV yang tidak naik kelas di depan siswa-siswi lainnya saat upacara bendera pada hari Senin. Pernyataan tersebut diduga telah mempengaruhi kondisi psikologis AV, yang kini menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk orang tua siswa dan pemerhati pendidikan.
Sejumlah orang tua siswa mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap tindakan Kepala Sekolah yang dianggap tidak mendidik dan dapat merusak semangat belajar siswa. “Sebagai pendidik, seharusnya kepala sekolah memberikan dukungan dan bimbingan, bukan malah mempermalukan siswa di depan umum,” kata salah satu orang tua siswa yang tidak ingin disebutkan namanya.
Sementara itu, Marjani belum memberikan tanggapan resmi terkait tuduhan tersebut. Pihak sekolah juga belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai langkah-langkah yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah ini dan mendukung AV secara psikologis.
Ketua LSM HARIMAU DPW JATIM (Ali Sodikin) menilai bahwa masalah absensi siswa seperti yang dialami AV seharusnya ditangani dengan pendekatan yang lebih mendidik dan penuh empati. “Pendidikan bukan hanya soal akademis, tetapi juga membentuk karakter dan mendukung perkembangan emosional siswa. Tindakan yang tidak mempertimbangkan aspek psikologis bisa berdampak jangka panjang,” ujar Ali.
Pihak Dinas Pendidikan Kota Tuban diharapkan segera turun tangan untuk menyelidiki insiden ini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar kejadian serupa tidak terulang. Hal ini penting untuk menjaga integritas dan kredibilitas dunia pendidikan di kota tersebut.
Masyarakat dan orang tua siswa berharap adanya transparansi dan keadilan dalam menangani kasus ini, serta dukungan yang memadai untuk AV dan siswa lainnya yang mungkin mengalami hal serupa. “Kami hanya ingin anak-anak kami mendapatkan pendidikan yang layak tanpa harus mengalami tekanan psikologis,” pungkas seorang warga.
Kasus ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa pendidikan tidak hanya tentang prestasi akademis, tetapi juga tentang pembinaan karakter dan kesehatan mental siswa. Diharapkan, kejadian ini bisa menjadi refleksi bagi institusi pendidikan lainnya untuk selalu menjunjung tinggi etika dalam mendidik anak bangsa.