Jakarta – Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 28-VIII-1999 tentang Pembatalan Hak Guna Bangunan Nomor : 2/Bojong Koneng atas nama PT. Fajar Marga Permai seluas 4.087.960 M2 yang terletak di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, sempat terdengar mengiringi riuh konflik pertanahan antara warga dengan PT. Sentul City.
Dikutip dari Jurnal Damai dan Resolusi Konflik (Volume 7 Nomor 1 Tahun 2021) yang ditulis Azzahra Retnaning Basuki, Adnan Madjid dan Bayu Setiawan, dari Universitas Pertahanan, nama PT. Fajar Marga Permai digunakan Sentul City pada tahun 1988 hingga tahun 1993 untuk membeli tanah. Kemudian pada 16 April 1993, berdasarkan Akta No. 311 perseroan didirikan dengan nama PT Sentragriya Kharisma.
Sentul City sempat beberapa kali melakukan perubahan nama, sampai akhirnya pada tanggal 19 Juli 2006 dalam Akta No. 26, perseroan sekali lagi merubah nama menjadi PT Sentul City Tbk yang digunakan hingga kini. Dari PT. Fajar Marga Permai inilah Sentul City membalik nama SHGB (Surat Hak Guna Bangunan) menjadi PT Sentul City Tbk.
Nah, sebagian masyarakat yang pada tahun 2000 an membeli lahan di Bojong Koneng dengan cara oper alih garap mendalilkan kepemilikan, selain penguasaan fisik juga pada keputusan pembatalan HGB PT. Fajar Marga Permai Nomor : 28-VIII-1999 ini, karena status lahan saat itu dianggap tidak dilekati kepemilikan atau dikembalikan ke dalam keadaan semula.
Dalih pembatalan HGB PT. Fajar Marga Permai (nama PT. Sentul City sebelumnya, red) ini dipatahkan Head Legal PT. Sentul City Faisal Farhan, karena menurutnya terdapat informasi yang terputus terkait hal ini.
Farhan menyebut gugatan pihaknya ke PTUN hingga MA yang kemudian menghidupkan kembali HGB pihaknya dengan terbitnya Keputusan Kepala BPN tahun 2002 tentang Pencabutan Keputusan No. 28-VIII-1999.
“Terkait dengan masalah pencabutan HGB PT. Fajar Marga Permai itu terkadang informasinya gak utuh, sebenarnya itu ada kelanjutannya. Ketika SK terhadap penerbitan HGB No.2 yang kita peroleh dari PTP tahun 1993 ini dibatalkan, sebenarnya ada kelanjutannya lagi, karena ada gugatan kita melalui pengadilan tata usaha (PTUN) hingga Mahkamah Agung (MA) tahun 2001.
Sehingga kemudian muncul keputusan Kepala BPN Nomor 1 pada bulan Juli tahun 2002 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 28 tersebut. Jadi ini dicabut, hidup lagi HGB kami,” ungkap Farhan, ketika dijumpai di Sentul Tower (Gedung Verdura), Babakan Madang, Bogor, Jum’at (1/9/2023).
Sayang, Farhan hanya menunjukan copy SK Kepala BPN ini, namun enggan memberikan salinannya, alasannya bukan untuk konsumsi media, kecuali (diperlihatkan) untuk pembuktian di pengadilan. Ia hanya menegaskan berdasarkan keputusan ini maka SHGB No.2/Bojong Koneng tetap berlaku, sehingga pada 2013 bisa dilakukan perpanjangan dan pemecahan.
“SK Pembatalan (No. 28-VIII-1999) itu dijadikan objek gatun, sehingga akhirnya putusannya HGB No.2 tetap berlaku, dan pada 2013 bisa perpanjangan dan pemecahan. Kalau ini tidak ada maka saya gak punya barang ini, itu logika hukumnya, dan kami nggak bisa perpanjang, maka kembali ke negara. Kalau ada pihak yang menduduki dan menguasai lahan tersebut sepanjang memenuhi PP 24/1997 dia bisa mengajukan gugatan, namun faktanya HGB kami hidup lagi. Jadi jelas, tegas dan mutlak tanah itu masih milik Sentul City,” ucapnya.
Farhan menyayangkan di lokasi HGB PT. Sentul City di Bojong Koneng, banyak terjadi transaksi jual beli lahan dengan modus oper alih garapan, padahal menurutnya oper alih garapan ini tidak diakui dalam hukum pertanahan, sehingga justru menimbulkan permasalahan ke depan, seperti menyulitkan untuk meningkatkan status lahan menjadi sertifikat hak milik.
“Kalau orang yang memahami UUPA No. 5/1960 maka disebutkan tanah tetap melekat sesuai hak nya, ada jangka waktunya, sehingga karena masyarakat tidak bisa jual beli maka terjadi oper alih garapan, ini tidak diakui dalam hukum pertanahan, bahkan setiap kali orang yang ingin oper alih garapan itu harus izin kepada pemilik, karena ada aturannya di Perpu 51/1960. Kita (PT. Sentul City) meski HGB nya mati punya hak prioritas yang dilindungi dalam PP 18/2000, terkadang oknum mafia ini mengesampingkan masalah pertanahan ini, mana ada oper alih garapan menjadi sertifikat,” katanya.
Soal Preman dan Kerohiman
Faisal Farhan menolak diksi penggusuran paksa atau cara-cara kekerasan dilakukan pihak PT. Sentul City kepada warga Bojong Koneng, ia menyebut saat ini Sentul City sedang melaksanakan penataan, pemanfaatan dan penguasaan aset perusahaan dengan legal standing yang kuat yaitu sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang dikuasai dan masih berlaku.
“Kalau disebutkan cara-cara kekerasan dilakukan pihak Sentul City, itu kepada warga yang mana, karena dengan warga asli Bojong Koneng tidak ada masalah, sudah ada penyelesaian melalui Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T). Juga bukan penggusuran paksa, tapi saat ini Sentul City sedang melaksanakan penataan, pemanfaatan dan penguasaan aset perusahaan, dengan legal standing yang kuat yaitu SHGB yang dikuasai dan masih berlaku, jadi clear.
Kalau isu di luar boleh di kroscek, terkadang tidak sesuai dengan fakta, kita selesaikan dengan cara memberikan keuntungan,” sebutnya.
Mobilisasi preman pun dibantah Farhan, yang bekerja melakukan penataan di lapangan merupakan unit kerja Sentul City yang dibantu pihak keamanan (security).
Adapun soal kerohiman yang diberikan kepada warga yang kemudian menimbulkan polemik karena nilainya dianggap tidak sesuai, Farhan menyebut pihaknya tidak memiliki kewajiban mengganti dan hanya bagian dari itikad baik perusahaan.
“Sekarang begini, ada nggak pemegang hak sertifikat berkewajiban untuk memberikan kerohiman atau ganti rugi atau ganti untung kepada orang yang telah melakukan tindakan ilegal terhadap tanah miliknya, jadi kami tidak punya kewajiban untuk memberikan keuntungan (kerohiman) boleh di cek itu itikad baik dari perusahaan, nilainya relatif karena tidak ada patokannya hanya sebatas itikad baik dan kesepakatan, faktanya diterima, kita punya ukuran sendiri,” kata Farhan.
Terpisah, M. Sani Alamsyah, Ketua Umum Masyarakat Pertanahan Indonesia (MPI) yang juga kuasa hukum salah satu warga Bojong Koneng yang lahannya ia sebut telah diserobot pihak Sentul City, mengaku akan mengambil langkah hukum terkait tindakan yang dilakukan perusahaan pengembang properti dan perumahan tersebut.
“Mau tidak mau kami akan mengambil langkah hukum, karena faktanya mereka (Sentul City) memakai cara-cara kekerasan, menggunakan preman, mereka brutal, ada videonya (warga) dipukul segala macam, saya nggak simpati dengan mereka, justru saat saya datang ke kantor nya tidak ada yang berani menemui saya. Padahal warga telah menguasai dan beraktivitas di atas lahan tersebut selama puluhan tahun,” kata Sani, sambil mengirimkan bukti video melalui WA ketika pihak Sentul City menggunakan buldozer meratakan tanah warga Bojong Koneng, Sabtu (2/9/2023).
Sani juga menyebut pihak Sentul City tidak mentaati aturan dari BPN, karena saat itu diberikan waktu 3 tahun namun tidak melakukan kegiatan di lokasi.
“Terkait hal ini nanti akan kita ungkap berdasarkan fakta dan aturan perundang-undangan dan rilis nya akan kita kirimkan kepada rekan-rekan media,” sebutnya. (Ilham/hutabarat)