Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, kembali merilis buku terbaru ke-32 berjudul ‘Konstitusi Butuh Pintu Darurat: Urgensi Memulihkan Wewenang Subjektif Superlatif MPR RI’.
Dalam buku ini, Bamsoet mengulas tentang UUD NRI 1945 pasca reformasi tanpa pintu darurat jika terjadi _dispute_ atau kebuntuan konstitusi dan kebuntuan politik.
Bamsoet mengingatkan pentingnya Indonesia memiliki pintu darurat dalam UUD 1945 dan protokol kedaruratan ketika terjadi kekosongan kekuasaan akibat pemilu tidak dapat diselesaikan secara tepat waktu akibat terjadinya ‘kerusuhan’ atau sangketa hukum yang berkepanjangan.
Dalam pandangan Bamsoet, sangat penting bagi MPR memiliki kembali wewenang subjektif superlatif. Dengan wewenang ini, MPR RI memiliki kuasa membuat, menerbitkan dan memberlakukan Ketetapan (Tap) MPR yang bersifat mengikat _(regeling)_. Tap MPR yang bersifat mengikat itu menjadi solusi manakala negara-bangsa dihadapkan pada berbagai kebuntuan, seperti kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik, dan bahkan kebuntuan hukum.
Lebih jauh lagi menurut Bamsoet, ternyata kita sampai saat ini belum memiliki ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan hasil pemilu tidak tepat waktu. Yakni, sebelum 1 Oktober untuk Pileg (DPR dan DPD), dan 20 Oktober untuk Pilpres.
Di masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan atau regeling untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi.
jika sekiranya terjadi keadaan-keadaan yang membuat kesinambungan kepemimpinan bangsa dan negara terhenti, baik karena pelaksanaan pemilu yang tidak selesai maupun adanya bencana alam, adanya pandemi, adanya pemberontakan dan kerusuhan atau krisis keuangan, maka keadaan-keadaan demikian mungkin saja dapat diatasi oleh presiden dan wakil presiden dengan menyatakan negara dalam keadaan bahaya, sebagaimana diatur dalam pasal 12 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun bagaimana jika sekiranya terjadi situasi di mana presiden dan wakil presiden, berikut _triumvirat_ yakni menteri dalam negeri, menteri luar negeri dan menteri pertahanan beserta jajaran yang lain lumpuh, atau berhalangan tetap secara serentak? Dengan demikian, situasi keadaan bahaya itu sama sekali tidak dapat diatasi oleh organ-organ konstitusional yang ada.
“Atau bagaimana jika keadaan darurat negara menyebabkan pelaksanaan Pemilu tidak dapat diselesaikan tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada presiden dan atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu. Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban atau kewenangan hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut?,” tanya Bamsoet.
Idealnya UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau _”constitutional deadlockâ_. Jika situasi seperti itu benar-benar terjadi, maka prinsip kedaulatan rakyatlah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan keadaan bahaya tersebut.
“Sebagai representasi dari prinsip kedaulatan rakyat, maka seharusnya MPR kembali memiliki kewenangan subyektif superlatif. Sehingga dengan kewenangan tersebut dapat mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat _regeling_ guna mengatasi dampak dari suatu keadaan _kahar fiskal_ maupun _kahar politik_ yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar,” tegas Bamsoet.