Bogor – Persoalan komunal di wilayah Desa Bojongkoneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, yang terpusat pada penguasaan lahan oleh Sentul City melalui konsesi yang hingga kini masih diperdebatkan, rupanya tidak hanya di dominasi persoalan pendudukan lahan garapan yang sudah puluhan tahun dikuasai masyarakat, masalah di lapangan semakin kompleks dengan kemunculan para spekulan di tingkat bawah. Kondisi inilah yang dialami Arision Harlim, saat tanah seluas 1200 m2 yang dibelinya pada sekitar tahun 2008 yang terletak di Blok 012, Rt002/Rw004, Kampung Tapos, Bojongkoneng, tiba-tiba pada 2021 diakui pihak Sentul City, meski Arision bersikeras memiliki bukti tanah adat yang terdata dalam catatan buku desa berupa persil maupun leter C serta dokumen lain yang diterbitkan pihak Desa Bojongkoneng. Arision hanya bisa meradang, ketika lahan beserta pohon dan tumbuhan yang ia tanam digusur, tanpa biaya penggantian sepeser pun. Minggu (24/9/2023).
“Boro-boro penggantian, pemberitahuan saja tidak, tiba-tiba dibabat aja semua sama dia (Sentul City), saat itu ada sekitar 500 batang tanaman kopi, pohon mahoni dan tumbuhan lainnya,” kata Arision pekan lalu.
Seingatnya, saat itu dengan dalih biaya pengganti garap ada uang senilai Rp400 ribu yang diberikan pihak RT setempat kepada orang yang ia pekerjakan mengurus lahannya, mengetahui hal ini, Arision berang dan minta agar uang tersebut dikembalikan.
“Cuma itu ada dari yang kerja sama saya dikasi Rp400 ribu dari pihak RT katanya untuk uang garap, saya bilang ke pekerja tersebut saya nggak garap, saya gaji dia tiap hari, ini tanah saya. Saya minta kembalikan uang nya, akhirnya istrinya yang kembalikan, Rp400 ribu dipotong Rp20 ribu jadi Rp380 ribu dikembalikan,” cerita Arision.
Kejengkelan Arision bukan tanpa sebab, beberapa dokumen tanah yang ia miliki antara lain : Leter C No. 2271 a, No Persil 82 d II, Luas 1200 m2 atas nama Jajang bin Djuna ; Surat Keterangan Riwayat Tanah bernomor. 593.2/254/2008/08/2008 yang diterbitkan Kepala Desa Bojongkoneng H. Acep Supriyatna pada 13 Agustus 2008 yang menerangkan tanah tersebut milik adat yang tercantum dalam kikitir/girik no. 51 ; Surat Pernyataan Ahli Waris ; Surat Keterangan Ahli Waris pada 29 September 2009 yang ditandatangani Kepala Desa Bojongkoneng dan diketahui Camat Babakan Madang ; Surat Kuasa Waris Jajang bin Djuna serta Surat Pernyataan Tidak Sengketa, ada juga Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB atas nama Jajang B Juna.
“Saya tidak bicara garapan, ini kan beda tanah girik punya adat, yang mengeluarkan desa ada riwayat tanahnya, yang jelas memang ada spekulannya, sedangkan ahli warisnya pun masih ada dan mengaku tidak pernah menjual lahan tersebut kepada siapa pun. Berarti kan problemnya di kelurahan/desa, kita kan gak tahu kalau sudah dijual kan dicoret namanya. Makanya kita aneh kok bisa di plot Sentul, kalau bicara sejarah ini verponding atas nama Siti Aminah, saya sudah lihat maketnya, surat-surat Sentul juga kurang,” kata Arision sambil menunjukan dokumen yang ia miliki.
Kini Arision masih menunggu niat baik pihak-pihak yang telah merugikannya dalam persoalan lahan ini, ajakan untuk menempuh proses hukum masih ia pertimbangkan.
“Kita lihat situasi untuk proses hukum, kemungkinan memang ada peran aparatur pemerintah desa juga BPN, kita masih selidiki, karena saya memiliki bukti dan lahan ini kita akan tetap perjuangkan,” ucapnya. *bersambung*