RadarNkri.id, LARANTUKA – Sengketa penggunaan lahan oleh Kantor Jaga Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Desa Lewolaga, Kecamatan Titehena, Flores Timur, memanas setelah Edmundus Deornay, pemilik lahan, menyegel lokasi tersebut. Lahan seluas sekitar 50×50 meter itu menjadi sorotan karena telah digunakan selama 30 tahun tanpa pembayaran sewa dari pihak PLN.
Sebagai ahli waris sah, Edmundus mengambil langkah tegas dengan menggembok pagar depan kantor tersebut sebagai bentuk protes pada 25 November 2024 lalu. Ia menjelaskan bahwa lahan tersebut sebelumnya dimiliki oleh mendiang ayahnya, Ignasius Deornay, dan telah digunakan oleh PLN untuk menyimpan mesin serta peralatan sejak tahun 1992.
“Saya sudah segel karena tidak ada sewa yang dibayarkan,” ujarnya kepada wartawan pada Minggu (01/12/2024)
Edmundus mengungkapkan bahwa PLN sempat menghubunginya untuk membahas perpanjangan kontrak. Namun, ia kecewa saat mengetahui bahwa kontrak tersebut tidak mencantumkan biaya sewa.
“Mereka meminta saya tanda tangan perpanjangan kontrak, tapi tidak ada biaya sewa. Saya bilang, untuk apa saya tanda tangan? Jelaskan dulu,” tegasnya.
Kekecewaan Edmundus semakin memuncak ketika mendengar kabar bahwa lahan tersebut telah dihibahkan ke PLN. Ia membantah klaim tersebut dan menegaskan bahwa tanah itu tidak pernah dihibahkan, baik oleh dirinya maupun keluarganya. Ia pun melayangkan surat tuntutan kepada PLN agar haknya diakui dan dihormati.
Respons PLN: Hak Guna Bangunan Jadi Perdebatan
Manajer PLN Unit Layanan Pelanggan (ULP) Larantuka, Oskarlian Ratu, menyatakan bahwa persoalan ini sudah dalam penanganan tim hukum PLN. Ia juga menegaskan bahwa lahan tersebut dikelola melalui Hak Guna Bangunan (HGB), bukan dengan kontrak.
“Kami memiliki HGB yang masih berlaku, jadi tidak ada masalah terkait sewa,” ujar Oskarlian.
Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan pengalaman Edmundus, yang merasa PLN tidak transparan dan cenderung mempermainkan posisinya sebagai masyarakat kecil.
Bagi Edmundus, langkahnya menyegel kantor tersebut bukan sekadar aksi emosional, melainkan bentuk tuntutan keadilan. Ia berharap PLN, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bersikap lebih bijaksana dalam menghormati hak-hak warga kecil.
“Saya hanya ingin hak saya dihormati. Jangan dipermainkan seperti ini,” tutupnya.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya transparansi dan komunikasi antara pihak korporasi dan masyarakat. Sementara itu, konflik ini masih menunggu penyelesaian hukum yang diharapkan dapat memberikan kejelasan bagi kedua belah pihak. *(Ell)